Oleh: Winda Maya Frestikawati
Pekan lalu saya dan suami berkesempatan mengikuti sebuah seminar parenting yang diselenggarakan oleh Institut Ibu Profesional Bandung, seminar tentang Home Education yang bertajuk “Pendidikan berbasis Potensi dan Akhlak bersama Keluarga dan Komunitas” diisi oleh pakar home education yaitu Bapak Harry Santosa (founder MLC sekaligus praktisi HE sejak 1994) dan Bunda Septi Peni Wulandani (founder IIP sekaligus praktisi HE sejak 1996).
Sebagai pasangan suami istri baru, banyak ilmu baru yang kami dapatkan dari kegiatan ini, mulai dari konsep home education sampai hal teknisnya. Dari kegiatan ini, panitia menginisiasi sebuah group yang langsung dibimbing oleh kedua pakar tersebut. Semoga jalan mencari ilmu untuk memantaskan diri memenuhi hak anak kami nanti, yaitu mendapatkan ayah dan ibu yang baik, dipermudah oleh Allah SWT, Aamiin yaa rabbal ‘alamin.
Oke kita mulai paparkan dari catatan-catatan penting dari seminar dan diskusi di group.
Banyak orang tua dan calon orang tua yang sering bertanya-tanya, apa itu Home Education? Home Education itu sinonim Home Schooling ya?
Peradaban sesungguhnya berawal dari sebuah rumah, dari sebuah keluarga. Home Education itu sifat wajib bagi kita yang berperan sebagai penjaga amanah. Karena sesungguhnya HE itu adalah kemampuan alami dan kewajiban syar’i yang harus dimiliki oleh setiap orang tua yang dipercaya menjaga amanahNya.
Jadi tidak ada yang “LUAR BIASA” yang akan kita kerjakan di HE. Kita hanya akan melakukan yang “SEMESTINYA” orangtua lakukan. Maka syarat pertama “dilarang minder” ketika pilihan anda berbeda dengan yang lain. Karena kita sedang menjalankan “misi hidup” dari sang Maha Guru.
Home Education dimulai dari proses seleksi ayah/ibu yang tepat untuk anak-anak kita, karena hak anak pertama adalah mendapatkan ayah dan ibu yg baik. Setelah itu dilanjutkan dari proses terjadinya anak-anak, di dalam rahim, sampai dia lahir. Tahap berikutnya dari usia 0-7 tahun, usia 8-14 tahun, dan usia 14 tahun ke atas kita sudah mempunyai anak yg akil baligh secara bersamaan. Home Educationsebagai orang tua dan anak nyaris selesai di usia 14 th ke atas. Orang tua berubah fungsi menjadi coachanak dan mengantar anak menjadi dewasa, delivery method HE pun sudah jauh berbeda.
Kita dipercaya sebagai penjaga amanahNya, SEMESTINYA kita menjaganya dengan ilmu. Jadi orang tua yang belajar khusus untuk mendidik anaknya seharusnya hal BIASA, tapi sekarang menjadi hal yang LUAR BIASA karena tidak banyak orang tua yg melakukannya.
Hal yang SEMESTINYA orang tua lakukan :
*Mendidik
*Mendengarkan
*Menyanyangi
*Melayani (pd usia 0-7 thn)
*Memberi rasa aman&nyaman
*Menjaga dari hal-hal yg merusak jiwa dan fisiknya
*Memberi contoh dan keteladanan
*BermainBerkomunikasi dengan baik sesuai usia anak
Tugas mendidik bukan menjejali “OUTSIDE IN“, tetapi “INSIDE OUT” yaitu menemani anak-anak menggali dan menemukan fitrah-fitah baik itu sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya (insan kamil) tepat ketika mencapai usia aqil baligh. Satu-satunya lembaga yang tahu betul anak-anak kita, mampu telaten dan penuh cinta hanyalah rumah dimana amanah mendidik adalah peran utama ayah bundanya.
Anak lahir ke muka bumi membawa fitrahnya, sehingga perlu pendidikan yang mengeluarkan fitrah anak tersebut.
#Fitrah Kesucian. Inilah yang menjelaskan mengapa tiap manusia mengenal dan mengakui adanya Tuhan, memerlukan Tuhan, sehingga manusia memiliki sifat mencintai kebenaran, keadilan, kesucian, malu terhadap dosa.
#Fitrah Belajar. Tidak satupun manusia yang tidak menyukai belajar, kecuali salah ajar. Khalifah di muka bumi tentunya seorang pembelajar tangguh sejati.
#Fitrah Bakat. Ini terkait misi penciptaan spesifik atau peran spesifik khilafah atau peradaban, sehingga setiap anak yang lahir ke muka bumi pasti memiliki bakat yang berbeda-beda.
#Fitrah Perkembangan. Setiap manusia memiliki tahapan perkembangan hidup yang spesifik dan memerlukan pendidikan yang sesuai dengan tahapannya, karena perkembangan fisik dan psikologis anak bertahap mengikuti pertambahan usianya. Misalnya, Allah tidak memerintah ajarkan shalat sejak dini, tetapi ajarkan shalat jika mencapai usia 7 tahun. Pembiasaan boleh dilakukan tapi tetap harus didorong oleh dorongan penghayatan aqidah berupa cinta kepada Allah dari dalam diri anak-anak.
Kita pelru mengkaji lebih dalam pendidikan yang dialami oleh Rasulullah dari lahir sampai dewasa, sebagai contoh pendidikan untuk anak-anak nanti.
Pendidikan dan persekolahan adalah hal yang berbeda. Bukan sekolah atau tidak sekolah yang yang ditekankan, tetapi bagaimana pendidikan yang sesuai dengan fitrah anak sehingga potensi alamiah anak dapat dikembangkan, karena setiap anak memiliki potensi yg merupakan panggilan hidupnya.
Pendidikan berbasis potensi yang dimaksud adalah yang terkait dengan performance. Dimulai dengan mengenal sifat bawaan atau istilah Abah Rama dengan Personality Productive yang kemudian menjadi aktivitas dan performance, lalu menjadi karir dan peran peradaban yang merupakan panggilan, akhirnya menentukan destiny. Jadi pengembangan potensi berkaitan dengan performansi, namun performansi memerlukan nilai-nilai yang disebut sebagai akhlak dan moral karakter. Dalam mengembangkan bakatnya, anak-anak perlu diingatkan dan diteladankan dengan nilai-nilai dalam keyakinannya (Al Islam) agar perannya bermanfaat dan rahmat atau menjadi akhlak mulia.
” Setiap keluarga memiliki kemerdekaan untuk menentukan dan mengejar mimpinya , termasuk dalam hal pendidikan.”
Tazkiyatunnafs secara sederhana dimaknai sebagai pensucian jiwa, membersihkan hati dengan banyak mendekat, memohon ampun, menjaga serta berhati-hati dari hal-hal yg syubhat apalagi haram atau waro’ kepada Allah dengan harapan keridhaan Allah SWT agar ditambah hidayah sehingga fitrah nurani memancar dalam akhlak dan sikap serta kesadaran yang tinggi atas peran (tauiyatul a’la). Pendidikan anak atau generasi memerlukan ini sebagai pondasi awal. Selanjutnya adalah masalah teknis.
Umumnya kecemasan, obsesif, banyak menuntut atau banyak memaksa atau sebaliknya, tidak konsisten (dalam arti sesuai fitrah anak, bukan obsesi orang tua), tidak percaya diri mendidik anak, muncul karena kurangnya tazkiyatunnafs para orang tuanya sehingga mudah terpengaruh oleh “tuntutan atau perlakuan” yang tidak sesuai atau menciderai fitrah. Tujuan tazkiyatunnafs orang tua, adalah agar kita kembali kepada kesadaran fitrah kita dengan memahami konsep pendidikan sejati sesuai fitrah.
Ketika orang tua menginginkan anaknya shalih maka orang tua harus memahami konsep kesejatian/fitrah anak dan makna keshalihan sesungguhnya. Shalih adalah amal, bukan status.
Pesan dari Bunda Septi yang selalu kami pegang, “Untuk itu siapkan diri, kuatkan mental, bersihkan segala emosi dan dendam pribadi, untuk menerima SK dari yang Maha Memberi Amanah. Jangan pernah ragukan DIA. Jaga amanah dengan sungguh-sungguh, dunia Allah yang atur, dan nikmati perjalanan anda.”
Tulisan ini semoga bermanfaat bagi pembaca, dan sebagai self reminderbagi saya.
Salam HE,
Winda Maya Frestikawati
Repost: Onna,
@homey, 210515 17:11