Langsung ke konten utama

Hari-hari Mendatang Anak Kita, :)

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Apakah tantangan yang kita hadapi berbeda dengan tantangan yang dihadapi orang-orang sebelum kita? Sekilas mungkin ya, tetapi jika kita mau mencermati lebih jauh, rasanya tak ada perubahan yang bersifat prinsip. Hari ini sebagian orangtua mungkin sedang resah oleh hiruk-pikuk pornografi yang beredar melalui perangkat elektronik di sekitar kita. Tetapi jika kita mau jujur, generasi sebelum kita juga menghadapi tantangan serupa dalam mendidik anak-anak mereka. Hanya saja bentuknya beda. Sekarang sebagian anak menyaksikan pornografi melalui HP, sedangkan dulu melihat di sungai-sungai atau pemandian umum.

 

Apakah situasi zaman kita benar-benar sangat berbeda dibanding zaman-zaman terdahulu? Jika benar zaman kita sangat berbeda, niscaya tak ada lagi gunanya kitab suci. Begitu pula berbagai pedoman pendidikan yang ditulis orang-orang terdahulu, tak ada satu pun yang dapat kita ambil sebagai petunjuk. Kita benar-benar menghadapi situasi yang tak dapat kita rumuskan dan karena itu tidak dapat kita duga apa yang akan terjadi. Kita harus memiliki acuan yang sama sekali baru. Tetapi apa yang menjadi dasar dari acuan yang sama sekali baru tersebut? Jika kita mendasarkan pada teori-teori yang telah ada, berarti kita meyakini bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang berlaku untuk berbagai zaman yang berbeda.

 

Jadi, apakah zaman kita sekarang ini benar-benar berbeda? Jika kita meyakini agama ini berlaku hingga akhir zaman, maka kita harus menemukan bahwa sesungguhnya tak ada perubahan yang benar-benar berbeda. Prinsip-prinsip dasar tidak mengalami perubahan. Tetap. Bentuk-bentuk tantangannya saja yang berbeda. Prinsip-prinsip dasar inilah yang perlu kita ketahui, kita pegangi dengan sungguh-sungguh dan kita jadikan pedoman dalam menyiapkan bekal bagi masa depan anak.

 

Kita mencatat bahwa di setiap zaman, di satu tempat yang sama lahir orang-orang baik maupun orang-orang buruk. Ini berarti, betapa pun lingkungan sangat berpengaruh, tetapi yang paling berperan adalah bagaimana orangtua membekalkan nilai-nilai hidup kepada anak. Bukan lingkungan. Bukan zaman saat ia dibesarkan.

Masalahnya adalah, banyak orangtua yang hanya bersibuk membangun keterampilan dan kemampuan kognitif. Itu pun terkadang lebih dangkal lagi, yakni sekedar prestasi akademik yang kerapkali tidak menunjukkan kompetensi anak, melainkan sekedar kemampuan mengerjakan soal.

 

Jika anak-anak kita besarkan dengan keterampilan, kemampuan kognitif dan fasilitas semata, mereka akan kehilangan arah begitu menginjak usia remaja atau bahkan sebelum itu. Anak-anak itu tidak bisa mengarahkan dirinya sendiri karena tidak memiliki prinsip-prinsip hidup yang kuat, orientasi hidup yang baik dan nilai hidup yang benar-benar berpengaruh. Tentu saja bukan berarti kita mengabaikan kemampuan kognitif. Tetapi menyibukkan diri dengan aspek kognitif tanpa memperhatikan bagaimana menanamkan nilai-nilai kepada anak, akan membuat mereka kehilangan arah. Tak punya pegangan. Mereka akan menjadi orang yang sangat mudah dipengaruhi oleh trend. Apa yang sedang hangat diperbincangkan, itulah yang menyita perhatian.

 

Saya teringat dengan tulisan David Shenk dalam bukunya yang bertajuk Data Smog. Sebagaimana tergambar dalam judulnya, Shenk secara khusus membahas tentang apa yang terjadi jika pikiran kita banyak dijejali dengan data-data yang tidak kita perlukan. Semakin banyak kotoran data (data smog), semakin mudah kita kehilangan arah, semakin mudah pula kita bersikap reaktif terhadap apa-apa yang sedang terjadi. Pikiran kita dibentuk dan ditentukan oleh media. Sebegitu kuatnya media massa mempengaruhi sehingga seakan-akan telah menjadi tuhan, atau kita bahkan telah mempertuhankan media massa tanpa kita sadari. Lihat saja, apa yang terjadi ketika media massa menyerukan untuk bangun malam menyaksikan siaran langsung sepak bola.

 

Lalu apa yang bisa kita petik? Dalam situasi ketika banjir informasi sedang mengepung kita, justru orangtua perlu lebih serius membekali anak-anak dengan orientasi hidup yang jelas. Akar dari orientasi hidup itu adalah keimanan kepada Allah Ta’ala. Bukan sekedar pengetahuan tentang agama. Masalahnya adalah, anak-anak kita semakin kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan beragama. Yang disebut dengan PAI (pendidikan agama Islam) seringkali hanya berarti pengetahuan umum tentang agama atau bahkan pelajaran menghafal materi-materi agama. Lagi-lagi, kita lebih mengedepankan pendekatan kognitif. Padahal, penguasaan secara kognitif tidak banyak berpengaruh terhadap sikap dan perilaku.

 

Berakar pada keimanan, kita harus membangun keyakinan yang kuat dalam diri anak terhadap syari’at Allah. Tak ada keraguan sedikit pun. Kita belajar bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan penjelas dari petunjuk-petunjuk tersebut. Tetapi apakah setiap manusia dapat mengambil petunjuk darinya? Tidak. Yang dapat mengambil petunjuk hanyalah mereka yang yakin dan tidak ada keraguan dalam dirinya.

 

Sekali lagi, ini bukan soal kemampuan kognitif. Ini adalah soal keyakinan. Penjelasan panjang lebar tidak member manfaat apa-apa selain hanya menambah pengetahuan jika mereka tidak yakin. Tetapi jika kita memiliki keyakinan yang kuat, maka bertambahnya pengetahuan akan menambah kuatnya keyakinan.

 

Satu lagi yang harus kita bangun dalam diri anak: budaya belajar. Pilarnya adalah membaca, khususnya membaca yang bertujuan (purposive reading). Bukan menonton.

 

Nah.

Repost: Onna
@homey, 220515 13:55

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih

Terimakasih Ucapan yang di sampaikan atas dasar kebaikan yang telah seseorang berikan kepada kita, baik berupa pertolongan maupun pemberian. Namun jarang sekali menemui seseorang berterimakasih atas dasar perlakuan buruk seseorang kepada kita ya? Boro-boro bilang makasii, melipir sambil diem aja udah untung yesh. :p Padahal pada dasarnya semuanya baik. Kenapa dasarnya baik? 👇 Misal aja nih... Bisa jadi kita meminta kepada Allah agar kita memiliki hati yang lapang dan ikhlas. Ndak mungkin donk kalau kita ujug² ikhlas dan berhati lapang kalau ndak di kasih 'pelajaran-pelajaran' berharga dulu dari ujian kehidupan? Ibaratnya harapan² itu seperti berlian, pastilah kelihatan berkilau baik ketika sudah di tempa panas maupun belum. Namun ketika sudah di tempa panas, bentuknya akan lebih cantik lagi... lebih berkilau lagi... dan pastinya lebih bernilai tinggi. Kalau kata paksu, niat itu nilainya 1. Dan kalau di aktualiasi jadinya bernilai 10. . Niat kita agar hati kita lapang d

Hati ini milik Allah... <3

Hai hati, apa kabarmu hari ini? Aku berharap engkau sebaik yang aku inginkan... Bahkan lebih dari itu... Nice! I got my true feelings... Im hurt. Cause this missing piece. Hey, you over there, have you feel the same feelings like me? Sudahhh... Aku memang perlu untuk harus menganggap waktu dan jarak hanya sekedar angka. Bukan lagi sebagai kerangka yang membuatku semakin tua dalam hitungan angka itu, kan? Sisa waktu long distance semakin tipis saja, itu tandanya temu akan segera tergapai. Tapi jangan lupakan... Itu pula tanda long distance relationship ini semakin lama kita nikmati. Sebagaimana roti yang harus kita nikmati dengan selainya, entah coklat, susu, kacang, atau sekedar madu. Begitupula hubungan ini. Hak sepenuhnya ada di tanganmu, sayang. Harapku tak rumit. Hanya inginkan semua baik-baik saja, sampai berujung temu yang bukan sekedar harapku. Tapi juga harapmu. So? Will you go in chance make it come true? Or you just wanna make it enjoy by your side only? Entahlah. Hati in

Ikhlas :)

Pas jalan-jalan di linimasa twitter, dan nemu ini di akun @kupinang yang tak lain dan tak bukan adalah akun milik Ust. Mohammad Fauzil Adhim... Hihihi. Semoga bermanfaat bagi semuanya. :) Oleh: Ust. Mohammad Fauzil Adhim Inilah Sufyan bin Sa'id Ats-Tsauri, seorang ulama hadis yang sangat berpengaruh. Keutamaannya dalam ilmu hadis membuat Yahya bin Ma'in dan beberapa ulama lainnya memberi julukan "Amirul Mukminin fil Hadits". Hanya dua orang yang pernah mendapat julukan tersebut, satu lagi adalah Malik bin Anas, meskipun keduanya bukanlah orang yang menyukai gelaran-gelaran hebat yang disematkan kepadanya. Ini merupakan gelaran yang dikatakan orang atas dirinya, bukan dianugerahkan kepadanya lalu diterima dengan hati bangga. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah Ta'ala pernah mengingatkan kita, ”Tidaklah aku obati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” Apa maknanya? Tidak ada yang lebih berat dalam